Pajak merupakan hal yang tidak asing lagi ditelinga warga negara Indonesia, bahkan kata itu telah menjadi istilah baku dalam bahasa Indonesia. Istilah pajak sudah dikenal rakyat Indonesia sejak zaman dahulu tepatnya pada abad ke 19 di Pulau Jawa, yaitu pada saat Pulau Jawa dijajah oleh Pemerintahan Kolonial Inggris tahun 1811 – 1816. Kemenangan Inggris dalam perang melawan Belanda-Prancis, menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara. Kekuasaan Inggris di Indonesia mencakup Jawa, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Madura, dan Sunda Kecil. Pusat pemerintahan Inggris atas Indonesia berkedudukan di Madras, India dengan Lord Minto sebagai gubernur jenderal. Daerah bekas jajahan Belanda dipimpin oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles (1811-1816).
Stamford Raffles mengeluarkan Peaturan Landrente Stelsel bahwa jumlah uang yang harus dibayar oleh pemilik tanah itu tiap tahunnya hampir sama besarnya. Namun, saat itu regulasi tentang pemungutan pajak masih sangat sederhana dibandingkan dengan saat ini.
Pada awal kemerdekaan pernah dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan pajak penjualan(PPn) 1951 Pengenaan pajak secara sitematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah, hal ini telah ada pada zaman kolonial. Pajak ini disebut “Landrent” (sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut “Landrente”. Peraturan tentang Landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Ordonansi Landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan Ordonansi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun1964.
Pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1970-an, pendapatan negara lebih banyak disokong sektor tambang minyak dan gas bumi (migas). Hingga pada masa orde lama beberapa perundang-undangan pajak masih didasarkan atas peraturan pemerintahan Belanda (misalnya: ordonansi PPs 1925 dan ordonansi PPd 1944) seperti Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan, Pajak penjualan dan beberapa pajak yang lain yang relatif kecil jumlahnya. Semua perundang-undang pajak ini akhirnya diganti dengan undang-undang yang baru yang lebih memenuhi kebutuhan perkembangan ekonomi dan keuangan maupun penyelenggaraan pemerintahan yang berubah.
Kondisi ini kemudian mengakibatkan apa yang oleh banyak pengamat disebut trauma perpajakan yang kemunculannya sudah jauh dari pada masa kolonial, yakni sistem perpajakan yang sangat eksploitatif dan menindas rakyat.
Setelah merdeka, maka sudah seharusnyalah Indonesia mengatur dan menentukan kepentingan-kepentingannya sendiri. Seperti halnya negara-negara yang baru merdeka, maka pemerintah RI lebih memfokuskan perhatiannya terutama dalam mempertahankan kemerdekaan dan usaha yang bersifat konsolidasi nasional. Meskipun pada akhirnya, disadari bahwa untuk mencapai sistem perpajakan yang cocok bagi Indonesia merdeka perlu diadakan tambahan, perbaikan bahkan perubahan Undang-Undang Perpajakan yang sebagian besaranya merupakan warisan kolonial.
0 Comments